2018, Konflik Manusia-Satwa di Riau Mencapai 35 Kasus

Petugas BKSDA Riau mengusung bangkai harimau sumatera keluar dari sebuah hutan, Juli 2011. [osmantri wwfindonesia]
Konflik antara manusia dengan satwa di Provinsi Riau tak pernah usai. Selalu saja terjadi. Berdasar data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, tahun ini, tercatat ada 35 kasus konflik yang terjadi. Konflik itu tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Riau.
"Konflik  paling banyak terjadi di Kabupaten Kampar. Ada 7 kasus yang tercatat," ujar Kepala BBKSDA Riau Suharyono, Selasa, 20 November 2018. Selain konflik dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kasus konfflik dengan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan kasus yang paling sering terjadi.
Setelah Kampar, Kabupaten Siak serta Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) menduduki peringkat berikutnya. Masing-masing ada 6 kasus. “Di Siak paling sering terjadi konflik dengan macan dahan, beruang madu dan gajah sumatera. Kalau di Kuansing itu dengan buaya sinyulong, ungko dan siamang,” kata Suharyono.
Peringkat ke tiga diduduki Kabupaten Bengkalis, dengan 5 kasus, di mana beruang madu dan gajah sering muncul bahkan konflik dengan warga di sana. Selanjutnya Kabupaten Pelalawan, dengan 4. Harimau sumatera, buaya muara, beruang madu dan gajah sumatera menjadi para "pelaku"nya.
“Di Inhil ada 3 kasus diantaranya harimau sumatra, buaya muara dan beruang madu. Bukan hanya di kabupaten saja, tetapi di Kota Pekanbaru juga ada konflik dengan satwa. Tercatat ada 2 yaitu dengan gajah,” katanya.
Terakhir ada di Kepulauan Meranti dan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Masing-masing 1 konflik. Buaya muara menjadi "pelaku" di Meranti, sedangkan di Inhu manusia berkonflik dengan harimau sumatera.
Tingginya angka konflik manusia dengan satwa yang dilindungi ini, kata Suharyono, disebabkan beberapa faktor. Antara lain karena makin sempitnya habitat mereka. Banyak alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
“Hewan-hewan itu merasa wilayah jelajahnya sempit. Apalagi perburuan terhadap pakan satwa liar juga banyak, sehingga terkadang satwa itu keluar habitatnya untuk mencari makan,” kata dia.
Ditambah lagi, banyaknya masyarakat yang memburu babi dan memasang jerat mengakibatkan kurangnya pakan para satwa tersebut. “Padahal, babi salah satu sumber makanan harimau,” ungkap mantan Kepala BBKSDA Bali tersebut.
Toh, pihak Suharyono tak tinggal diam. Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk menekan angka konflik tersebut. Di antaranya melakukan sosialisasi dengan masyarakat yang tinggal sekitar hutan.
“Masyarakat diminta untuk tidak memasang jerat, tidak membuka perkebunan sawit di hutan dan tidak mengganggu habitat para satwa tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, jika terjadi konflik, masyarakat juga bisa menghubungi BBKSDA Riau. Dengan cara menghubungi nomor telepon 081374742981. “Kami akan kirim personel yang paling dekat dengan lokasi temuan satwa liar atau lokasi terjadinya konflik satwa dengan manusia,” ujar Suharyono.
Selain sosialisasi, BBKSDA Riau juga berkoordinasi dengan instansi terkait. Seperti TNI, Polri, dan aparat pemerintah setempat. “Kami melakukan koordinasi agar penanganan konflik bisa lebih cepat dan tepat sasaran,” kata dia.
“Biasanya jika sudah terjadi konflik, satwa itu akan digiring ke habitat asal. Jika tidak bisa, kami lakukan evakuasi,” pungkas Suharyono.
Rintisan Sihombing 

Post a Comment

0 Comments