66 Tahun Noorca M.Massardi

Noorca Massardi dengan bukunya, Ketika 66. (Facebook/Rayni Massardi)


Saya sudah puluhan tahun tak membaca. Termasuk sastra. “Bacaan” saya ihwal sastra dan seni-budaya lainnya tak lebih dari medsos – belakangan semata Facebook, setelah sejumlah WAG saya tinggalkan. Pendeknya, dalam hal seni-budaya, sebagaimana bidang lainnya, saya hanya orang pinggiran – untuk menghindari istilah awam. Hanya melihat dari jauh, tanpa merasakannya, merasuk ke dalamnya. Pendeknya, pengetahuan dan pengalaman saya soal ini sangat terbatas.

Saya malah merasa lebih mengenal sosok Mas Noorca di bidang jurnalistik: Wartawan Indonesia pertama yang mewawancarai pemimpin Revolusi Iran Ayatullah Khomeini di pengasingannya di Paris (1978). Mungkin lebih dini dibandingkan Nasir Tamara, satu-satunya wartawan Indonesia yang ikut menyertai Ayatullah pulang ke Iran beberapa saat sebelum Syah Iran Reza Pahlevi mundur dan hengkang ke Mesir – sampai akhir hayatnya.

Mas Noorca pula wartawan pertama, dan mungkin satu-satunya, yang mendapat pesangon cukup besar (baca: layak) dari perusahaan media tempatnya bekerja saat itu. Rp 100 juta pada tahun 1989! Sampai-sampai, untuk yang terakhir ini saya sempat mengompori seorang teman agar menuliskan kasus tersebut sebagai skripsinya. Sementara, “perjuangan saya” untuk meningkatkan martabat wartawan agar mendapat pesangon yang layak tak lebih dari Rp 25 juta. Sekitar 1997 atau 1998, kasus Saudara Ignatius Haryanto di majalah Forum Keadilan, tempat saya mengenal Mas Noorca lebih dekat.

Sehingga, kala Mas Noorca mengirim undangan launching Ketika 66, saya menduga kumpulan puisinya itu lebih merupakan sejenis “puisi-puisi politis” – sejenis kritik sosial. Semacam pelangkap untuk novelnya, September, sekaligus wujud kewartawanannya -- alih-alih kesenimanan atau kesastrawanannya. Terlebih, cover buku itu bergambarkan 6 tangan kanan yang mengacung dan mengepal. Dengan latar warna merah pula.

Saya baru sadar kalau buku itu tak lain (juga) menandai ulangtahun ke 66 Mas Noorca, ketika pagi kemarin, 28 Februari 2020, membuka Facebook. Medsos itu mengingatkan saya tentang ulangtahun yang bersangkutan – dan Mas Yudhis Yudhistira Massardi, tentunya.

Dan jadilah perayaan ulangtahun itu sebuah perayaan yang unik, yang sekaligus menunjukkan kreativitas lain Mas Noorca: Para tamu dipersilahkan membaca satu puisi yang ada di buku itu! Lengkap dengan sedikit testimoni tentang pribadi Mas Noorca.

Dan saya pun ikut pakaulan sekaligus bangga: Ikut aub membaca salah satu puisi yang ada di sana, satu panggung dengan para pembaca yang lebih profesional. Dan ini adalah kali ke lima saya membaca puisi di depan umum. Hormat dan kekaguman saya kepada beliau.

Ya, saya menaruh kekaguman kepada mantan Redpel dan Pemimpin Redaksi saya ini. Bukan semata karena nyaris tak pernah tampak cemberut, selalu tersenyum, tapi juga karena enerji kreatifnya yang seakan tak pernah habis. Selama kami jarang bertemu, sejak terakhir bersama-sama mengerjakan majalah AND, entah berapa buku yang telah ditulisnya. Terakhir, setelah “mengacak-acak” pakem haiku, dan nyaris tak henti mudik ke Bali, beliau menyertakan gambar pada puisi-puisinya itu. Dan ini kian menarik ketika beliau juga menduplikasi coretannya itu secara diapos. Dibikin kaos pula.

Sungguh, ditambah percintaannya dengan Mbak Rayni yang bikin iri banyak orang, plus tiga cucu yang salah satunya selalu bikin gemes, 66 tahun hidup Mas Noorca sangat keren adanya. Tahniah, Mas… Semoga panjang umur, sehat, penuh berkah, dan kreativ selalu!

BTW, tentang bukunya, selain keawaman tadi, saya kira epilog Bli Wayan Jengki SunartaSunarta terlalu sempurna. Saya kehabisan celah untuk ikut mengomentarinya. (Kecuali, nyatanya puisi Mas Noorca juga diapresiasi anak muda berumur 18 tahun). Yang pasti, acara pembacaan puisi seperti itu kelihatannya asyik juga bila dijadikan kegiatan rutin. Ruangannya nyaman, tak terlalu luas, sehingga penontonnya pun tak perlu banyak. (Mungkin, seperti inilah yang diangankan almarhum Rendra tentang gedung kesenian). Dan yang penting: Dari rumah saya pun tak terlalu jauh. Walau saya baru nyampai rumah jam 12-an, karena bis kota tak jua datang apalagi bajaj atau opang. Sementara, hape saya mati. Agak lama numpang ngecharge di salah satu warung di sana, untuk pesan Gojek.

Tentang format acara itu, mudah-mudahan Mas Heryus Saputro bisa lebih kokoh memberi dorongan agar menjadi kegiatan rutin.

Post a Comment

0 Comments