Tantangan Pertamina di Tengah Polemik Harga Premium


Oleh Ismet Djafar, alumnus Teknik Geologi Unhas, pemerhati energi.

Secara substansi, harga premium telah lama menjadi perdebatan di DPR khususnya Komisi VII. Premium termasuk jenis BBM yang dikenal dengan istilah resminya Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Walaupun sebagai JBKP, tetapi premium tidak lagi disubsidi harganya. Namun, harga jualnya tetap ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM.

Artinya, sekalipun Pertamina (sebagai operator penugasan) dalam posisi menjual premium dengan konsekuensi rugi, tetapi tidak ada pilihan lain selain menjalankan penugasan itu dengan baik dan bertanggung jawab. Baik itu pengadaan maupun distribusinya.

Di sisi lain, posisi sebagai BUMN mewajibkan Pertamina untuk mencari laba, bukan "mencari" kerugian. Oleh karena itu, dengan situasi di mana premium dijual di bawah harga keekonomian atau harga produksi dan distribusi atau harga beli, maka secara tidak langsung Pertamina yang mensubsidi harga premium. Padahal, umumnya pemerintahlah yang menanggung subsidi (selisih harga keekonomian) jika komoditas itu sebagai penugasan dari pemerintah kepada badan usaha.

Sebenarnya tidak hanya pada BBM jenis premium di mana Pertamina mengalami "pendarahan", tetapi saat ini pada penjualan BBM solar (gasoil) yang disubsidi pemerintah Rp 500 per liter juga Pertamina mengalami kerugian, akibat harga produksi dan distribusi (harga beli) jauh lebih besar dari harga jualnya.

Selain memproduksi sendiri, Pertamina juga mengimpor BBM jadi. Tahun 2018 rata-rata impor gasoline (premium, pertamax) Rp 300 ribu barel per hari. Sedangkan gasoil rata-rata 35 ribu barel per hari.

Jawaban Menteri ESDM 

Jika tidak ada aral melintang, Rabu (24/10) ini Komisi VII DPR akan mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Raker ini sebelumnya dijadwalkan Rabu (17/10) pekan lalu, namun batal terlaksana karena Jonan tidak bisa hadir. Menurut Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial, ketidakhadiran Jonan karena sudah telanjur ada acara penting di luar kota.

Raker kali ini memiliki urgensi karena sebelumnya telah terjadi kehebohan akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga premium, tetapi dalam waktu kurang dari satu jam dibatalkan lagi. Di tengah situasi politik yang semakin eskalatif, tentu membuat isu ini menjadi seksi dan sensi.

Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang situasi internal Pertamina. Memang pernah disebutkan bahwa pemberian blok migas hasil terminasi dari operator lama ke Pertamina sebagai "barter" dari defisit karena penugasan untuk BBM. Namun, apakah itu sudah cukup, masih perlu kajian komprehensif.

Akibat "subsidi" yang triliunan rupiah ini, kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah Pertamina berpotensi melanggar UU BUMN yang tugasnya mencari laba?

Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan Pertamina tetap kuat secara finansial jika harga minyak dunia tetap tinggi? Siapa yang bertanggung jawab atas "kerugian" Pertamina akibat penugasan ini? Bagaimana dengan hilangnya potensi pendapatan sehingga program-program besar Pertamina seperti kilang baru tidak berjalan?

Semoga hal ini mendapatkan jawaban atau penjelasan yang komprehensif dari Menteri ESDM, demi kebaikan bersama. Dan, cita-cita menuju Pertamina sebagai a bigger national oil company tetap terwujud. (detik)

Post a Comment

0 Comments