Oleh Tian Mbui
Milenial adalah experience-seekers, mereka lebih memilih mengonsumsi pengalaman (experience) ketimbang barang (goods). Mereka lebih suka membelanjakan uangnya untuk liburan, dine-out, atau nonton konser ketimbang baju, sepatu, atau mobil. Data BPS mengonfirmasi hal ini.
Milenial adalah juga happiness-seeker, bagi mereka waktu adalah aset yang paling berharga. Karena itu mereka berupaya mengisi setiap jengkal waktunya untuk menghasilkan emosi positif (positive emotion) dan sesuatu yang fun agar bahagia.
Milenial sekaligus juga adalah meaning-seeker. Agar bahagia, mereka menginginkan hidupnya bermakna bagi mereka sendiri maupun masyarakat di sekitarnya. Mereka mendambakan a meaningful life.
Tiga nilai-nilai milenial ini menghasilkan shiting perilaku konsumen milenial yang sangat mendasar dan berpotensi mendisrupsi berbagai bisnis yang telah mapan bertahun-tahun sebelumnya.
Minimalist Lifestyle
Resultan dari tiga shifting perilaku milenial di atas adalah tren ke arah gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle). Sebut saja ini era kejatuhan materialisme (the fall of materialism).
Gaya hidup minimalis adalah tren perilaku generasi milenial yang semakin mengurangi konsumsi barang (goods-based consumption) dan mengalihkannya ke konsumsi pengalaman (experience-based consumption). Mereka mengonsumsi baju, sepatu, gadget, mobil, bahkan rumah secara minimal, kemudian mengalihkan uangnya untuk liburan, nongkrong, nonton konser, kesenian, atau olahraga.
Dengan mengurangi konsumsi beragam barang yang menjadikan hidup repot dan kompleks, mereka mencoba fokus pada aspek-aspek terpenting dalam hidup seperti: kesehatan, kesenangan, relationships, personal growth, atau kontribusi ke sesama.
Ada tiga alasan mengapa tren gaya hidup minimalis ini bakal kian menguat di kalangan milenial jaman now.
Pertama, karena memang milenial adalah “generasi susah”. Masa-masa remaja mereka pekat diwarnai krisis ekonomi (krisis 1998 dan 2008) dan berbagai kerusuhan politik akibat transisi dari pemerintahan Orde Baru ke orde reformasi. Karena susah maka mereka sangat value-oriented, setiap pengeluaran mereka perhitungkan dengan masak-masak. Mereka menuntut layanan yang “more for less”, dapat banyak dengan harga semurah mungkin.
Kedua, karena goods dan materialism membuat mereka tidak bahagia. Ketika punya mobil maka rentetan kebutuhan lanjutan akan menyusul: butuh garasi, butuh beli bensin tiap minggu, ngurus STNK dan SIM, servis tiap tiga bulan, butuh sopir, kena tilang di jalan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Memiliki mobil ujung-ujungnya menciptakan “spiral of complicated life” yang menjadikan hidup para milenial tak bahagia. Kata mereka: “Experience consumption leads to happiness; Goods consumption leads to stress, anxiety, and unhappiness.”
Ketiga, karena mereka menginginkan kebebasan. Minimalist lifestyle means a life with more freedom. Tidak memiliki barang-barang (terutama durablegoods) seperti rumah, mobil, pinjaman di bank, akan berarti mereka menjadi lebih bebas.
Dalam hal rumah misalnya, kini milenial cenderung menunda memiliki rumah (kalau masih bisa ngontrak atau ngekos) atau memiliki rumah berukuran kecil dengan kewajiban cicilan KPR yang kecil pula. Mereka tak mau kewajiban di bank menyandera kebebasan hidup mereka.
Potential Disruptions
Ketika minimalist lifestyle betul-betul telah menjadi mainstream (ingat, tahun 2020 milenial sudah mendominasi komposisi demografis penduduk Indonesia) lalu apa yang bakal terjadi?
Tren tersebut menghasilkan “new mode of consumptions” yang berpotensi menghasilkan dampak disruptif jangka panjang ke berbagai bisnis dan sektor industri.
Consumer Goods: Konsumsi milenial akan barang-barang konsumsi akan semakin kecil bahkan menurun. Data Nielsen mengonfirmasi hal ini, di mana sejak tahun 2014 pertumbuhan penjualan produk-produk konsumer (FMCG, fast-moving consumer goods seperti: makanan-minuman kemasan, personal care, home care, dll.) pertumbuhannya mulai terlihat flat cenderung turun.
Properti: Milenial cenderung mencari rumah berukuran kecil dan fungsional-minimalis dengan perabot dan perlengkapan rumah tangga yang minimal pula. Karena rumah di tengah kota harganya tak terjangkau, rumah di pinggir kota dengan aksebilitas baik (transportation-oriented development, TOD) menjadi solusi.
Bank: Milenial merasa kewajiban cicilan KPR, KKB, atau tagihan kartu kredit kian mengungkung kebebasan hidup mereka. Pertanyaannya: ditambah dengan kehadiran fintech yang mendisrupsi sektor ini, akankah memang bank semakin tak relevan lagi di era generasi milenial?
Transportasi: Keinginan milenial membeli mobil/motor semakin menyurut. Alasannya ada dua. Pertama, memiliki mobil sendiri merepotkan dan tidak ramah lingkungan. Kedua, mereka lebih memilih sharing lifestyle dengan menggunakan jasa seperti Grab atau Gojek.
Fashion: milenial kian mengurangi beli baju, sepatu, tas, dan barang-barang fesyen. Mereka membeli seperlunya tak lagi bertubi-tubi untuk mengikuti tren. Sosok seperti Steve Jobs atau Mark Zuckerberg yang hanya memiliki satu jenis baju, celana, dan sepatu kian menjadi role model.
Consumer Electronic/Gadget: Era bulan madu membeli/memiliki gadget telah lewat. Puncaknya terjadi pada saat Nokia, disusul Blackberry, dan terakhir Apple/Samsung mencapai masa jaya. Kala itu konsumen mengular antre untuk mendapatkan gadget terbaru. Kini milenial membeli/memiliki perangkat elektronik/gadget seperlunya, tidak berlebihan seperti generasi sebelumnya.
Retail: Dampaknya kini sudah terasa, pusat-pusat perbelanjaan yang sebatas menawarkan barang dan tidak menawarkan experience/leisure makin ditinggalkan konsumen milenial. Sebaliknya, mal-mal modern yang menyediakan coffee shop, dine-out resto, atau hiburan justru mengalami pertumbuhan luar biasa.
Ingat, dengan perubahan-perubahan perilaku di atas, milenial kini telah menjadi disruptor yang membuat lanskap bisnis berubah secara eksponensial. (kastra)
0 Comments