Suasana Natal di Lebanon. [via suaraislam] |
Sebentar lagi Natal tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Natal merupakan hari raya yang diperingati oleh umat Kristiani (baik Kristen maupun Katolik) di seluruh dunia. Natal identik dengan pohon cemara, lonceng, lilin, dan yang tak kalah menarik: tokoh sinterklas yang senantiasa berbaju merah menyala. Suasana perayaan Natal campur aduk: antara khidmat, syahdu, hingga riang gembira.
Sebagai bukan pemeluk agama Kristen ataupun Katolik, tentu saja saya awam sekali ihwal makna simbolik di balik hiasan-hiasan hari raya Natal tadi. Yang saya tahu, paling-paling, hanyalah bahwa Natal merupakan peringatan hari lahir Yesus Kristus. Yesus inilah yang dalam khazanah Islam dikenal sebagai Nabi Isa al-Masih, salah satu Nabi yang sangat dihormati oleh para pemeluk agama Islam.
Oleh karena itu, saya tak bermaksud membahas makna Natal dalam tulisan ini. Selain saya tak punya kompetensi untuk membahasnya, saya juga khawatir pembahasan saya bisa keliru dan menyinggung perasaan saudara-saudara dan sahabat-sahabat saya yang memeluk keyakinan Kristiani.
Tulisan ini lebih berisikan pengalaman pribadi saya saja, terutama dalam berinteraksi dengan tetangga-tetangga, kerabat, ataupun sahabat-sahabat saya yang beragama Kristen/Katolik. Sebab tiapkali perayaan Natal menjelang atau tiba, saya secara otomatis berkontemplasi seputar hari raya yang jatuh tiap akhir bulan Desember ini. Dan kontemplasi saya itu biasanya terkait dengan hubungan sosial saya dengan mereka tadi.
Yang pertama-tama saya ingat tiap kali Natal tiba adalah dosen saya sewaktu kuliah di Fisipol UGM, Mas Cornelis Lay. Pria yang secara formal pemeluk Kristen ini tiap kali hari raya Idul Fitri tiba selalu mengajak para mahasiswanya yang beragama bukan Islam untuk mengucapkan selamat Idul Fitri kepada para mahasiswa Muslim. Para mahasiswa yang beragama Hindu, Budha, Kristen, dst dia minta berjajar di depan kelas untuk menyalami dan mengucapkan selamat Lebaran kepada para mahasiswa yang beragama Islam.
Demikian pula tiap bulan Ramadhan tiba, Mas Cony (panggilan akrab Cornelis Lay) lazim memperpendek jam kuliah sore hari, karena tenggang rasa kepada para mahasiswa Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa. Kuliah yang mulai jam 14.00 wib, dan seharusnya baru selesai sekitar jam 16.00 wib, biasanya ia "diskon" sehingga cukup sampai jam 15.00 saja.
"Saya tahu kalian yang puasa tentunya sudah mulai lemas," katanya suatu ketika.
Belakangan, kata yunior saya sefakultas, Mas Cony malah acap menggelar acara buka bersama bagi para mahasiswanya di rumahnya, di kawasan Minomartani, Sleman, Yogyakarta.
Ingatan saya yang kedua, tiap kali Natal tiba, jatuh kepada Pak Hartono, pemeluk Kristen Protestan, yang tinggal sekampung dengan rumah orangtua saya di Sragen, Jawa Tengah. Jujur saja, meski Pak Hartono ini kondisi ekonominya pas-pasan dan sehari-hari hanya berprofesi sebagai sopir truk, saya kagum kepadanya. Pak Hartono ini sejak pertama kali tinggal di kampung kami sekitar 25 tahun lalu selalu menunjukkan sikap proaktif yang menyejukkan. Tiap kali umat Islam sekampung kami merayakan Idul Fitri, selalu saja Pak Hartono mengirim kue-kue bagi para jamaah masjid yang sedang melantunkan takbiran semalam suntuk.
Sebagai takmir masjid, saya sendiri sebetulnya tidak tega menerima pemberian Pak Hartono itu. Ini mengingat ia dan keluarganya sendiri hidup sangat bersahaja, bahkan termasuk salah satu tetangga kami yang paling miskin. Namun apa boleh buat, meski dengan sopan saya sudah memintanya tidak perlu mengirim snack untuk jamaah masjid kami yang takbiran, tetap saja dia tiap tahun mengirim bingkisan besar berisi kue-kue untuk jamaah masjid kami.
Kemudian ada kerabat saya sendiri yang juga memeluk agama Katolik. Yang membuat saya sering terharu, justru kerabat kami yang beragama non Islam ini yang paling rajin mengunjungi kami tiap kali Idul Fitri tiba. Selain mengucapkan selamat Idul Fitri, biasanya mereka juga membawa kue-kue atau bingkisan berupa gula dan teh untuk ibu saya yang secara garis keluarga memang lebih sepuh (senior).
Di luar ketiga kisah tadi, masih banyak sahabat-sahabat saya pemeluk Kristiani yang menunjukkan sikap toleransi yang terpuji demikian, yang tak semuanya bisa saya tulis di sini. Itulah kenapa tiap kali Natal tiba, saya pun selalu teringat kepada budi baik mereka. Apalagi agama Islam sendiri, agama yang saya peluk sejak lahir, juga mengajarkan untuk membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang lebih baik. Setidaknya keharuan dan apresiasi saya atas keramahan dan kehangatan mereka, saya harap menjadi semacam kebaikan pula.
Maka, sebagai Muslim, saya kadang merasa malu sendiri dengan sikap saudara-saudara saya seiman yang tega mengganggu kedamaian, kekhusyukan, dan keceriaan perayaan Natal di Tanah Air kita. Bukannya mengucapkan selamat Natal, beberapa orang justru meneror perayaan Natal dengan perilaku tidak terpuji yang dikecam agama Islam sendiri. Sebaliknya, justru tidak sedikit umat Non Muslim yang, secara sadar maupun tidak, telah meneladani perilaku tasamuh (toleran) nabi Muhammad SAW. Termasuk gereja-gereja yang rutin memasang spanduk ucapan selamat Idul Fitri tatkala Lebaran tiba.
Entah, saya tidak tahu, apakah umur saya masih cukup untuk bisa menyaksikan kelak masjid-masjid di Indonesia akan mengucapkan selamat hari raya Natal, Paskah, atau Waisak, atau Galungan...
*) Artikel ini diposting penulisnya di akun Faebook bersangkutan. Ditayagkan ulang atas izinnya.
0 Comments