Bendera Kerajaan Tidore [lupa lagi sumbernya] |
Begini. Atas keluhuran hati seorang sahabat yang hari ini sedang berbahagia (karena kursi wakil gubernur DKI naga-naganya akan berhasil disabet oleh rekan separtainya), saya mengunggah sebuah foto di dinding Facebook saya. Itu foto tampang saya sendiri, mejeng dengan kaos merah bertuliskan kalimat "Lailahaillallah Muhammadarrasulullah".
Ya, ribuan pemakai kaos yang sama pada hari-hari belakangan ini bermunculan di mana-mana, namun dengan warna spesifik: hitam bertulisan putih, atau putih bertulisan hitam. Tak usah dibahas, Anda sudah pasti paham kaos-kaos demikian hadir bersamaan dengan pengibaran bendera-bendera dengan desain yang sama.
Aksi-aksi bernuansa hitam putih itu lagi-lagi terbingkai ke dalam suasana tarik-tambang polarisasi politik. Mulai muncul seruan ganti presiden pada aksi-aksi hitam-putih. Seorang tokoh oposisi pun menyeret nalar publik ke dalam sebuah jalan pintas yang hemat dan nikmat, dengan twitnya yang berbunyi: "Jangan pilih presiden yang mendukung penista agama. Jangan pilih presiden yang mendukung pembakar bendera tauhid. Eaaaaa..."
Tentu, twit itu tidak berdasar sama sekali. Sedikit pun Jokowi tidak mengucapkan pernyataan yang mendukung pembakaran bendera tauhid atau bendera HTI--terserah pada versi mana Anda mempersepsi bendera itu. Malangnya, fakta dan logika memang tak lagi punya posisi tawar di era pascakebenaran, bukan? Haha. Jadi tak perlu dibahas juga akurasi ucapan tersebut. Poinnya, setiap peristiwa sosial akan dibingkai menjadi pertempuran politik.
Sementara itu, di pihak seberangnya, ketegangan kasus pembakaran bendera memunculkan perkembangan psikologis komunal yang juga lumayan lucu. Banyak di antara pihak yang tidak menyalahkan pembakaran bendera di Garut tempo hari mendadak jadi "parno" dan sinis melihat teks kalimat "Lailahaillallah Muhammadarrasulullah". Komentarnya bermacam-macam. Di antara sekian jenis komentar, yang paling laris semacam ini: "Tauhid tidak perlu ditulis-tulis. Cukup ditanamkan di dalam hati."
Itu menggelikan, saya rasa. Selama ini kalimat tauhid atau kalimat tahlil itu ditulis juga di mana-mana. Di dinding masjid, dengan mural kaligrafi berwarna-warni. Pun di tembok ruang tamu rumah-rumah kita, mulai dalam wujud ukiran bambu, kain bersulam, hingga lukisan cat minyak berharga jutaan. Biasa saja. Hanya karena muncul kasus pembakaran bendera, tiba-tiba banyak orang Islam yang beramai-ramai mengatakan bahwa kalimat itu cukup ditanam jauh di lubuk sanubari. Sungguh sebuah kebijaksanaan instan yang mengejutkan.
Apa artinya?
Artinya, semua pihak sudah membangun kemampuan refleks instingtif, untuk bergerak mengambil jarak dari lawan masing-masing. Dalam fase ekstrem, apa pun yang seketika tampak identik dengan pihak lawan lekas-lekas dijauhi. Sampai-sampai mereka tak peduli bahwa yang dianggap identik dengan lawan itu sesuatu yang sesungguhnya tidak boleh mereka jauhi.
Misalnya, ya tentu saja kalimat tahlil tertulis itu. Ia tiba-tiba jadi dijauhi oleh, katakanlah, muslim anti-HTI. Mereka sudah jatuh ke dalam kesulitan serius untuk membedakan antara teks atau kaligrafi kalimat tauhid, dengan visualisasi teks kalimat tauhid yang hadir sepaket dengan bendera hitam-putih.
Fenomena psikologis demikian sebenarnya wajar saja, sebuah mekanisme bawah sadar yang normal-normal saja. Masalahnya, muslim kok menolak teks kalimat tauhid? Sebagai seorang muslim, saya jadi pusing dari mana harus menemukan penjelasannya.
Maka, eksperimen lucu-lucuan tadi saya lakukan.
Ide tersebut muncul tiba-tiba, gara-gara pekan kemarin saya diundang ke almamater saya untuk memotivasi para adik angkatan saya di jurusan. Undangan itu mengingatkan saya akan skripsi yang telah menyelamatkan hidup saya bertahun-tahun silam. Isinya telaah atas sebuah novel Jepang karya sastrawan Tanizaki Junichiro, dengan teori classical conditioning yang diracik oleh psikolog Rusia, Ivan Petrovich Pavlov.
Secara ringkas, teori Ivan Pavlov itu disarikan dari kelakuan seekor anjing yang dihadapkan pada paket dua hal. Yang pertama bunyi bel, yang kedua datangnya ransum makanan. Pada jadwal-jadwal tertentu, makanan didatangkan bersamaan dengan bunyi bel. Perlakuan itu dijalankan berulang-ulang, dalam jangka waktu lama. Si anjing pun selalu merespons dengan air liurnya, setiap kali makanan dan bel muncul di depannya.
Setelah mekanisme itu berjalan mapan, Pavlov memisahkan paket dua hal tadi. Bel ia bunyikan sendirian, tanpa makanan. Ternyata, anjing memberikan respons yang sama! Hanya dengan mendengar bunyi bel saja, air liurnya menetes-netes. Artinya, si anjing sudah mengidentikkan bel dengan makanan.
Pada tahap selanjutnya, dilakukan proses entah apa istilahnya, yang jelas merupakan netralisasi atas bunyi bel. Jika sebelumnya bunyi bel secara otomatis dipersepsi oleh anjing sebagai makanan, maka eksperimen berikutnya memisahkan bel dan makanan. Caranya, bel dibunyikan terus-menerus tanpa makanan. Walhasil, pelan-pelan si anjing pun tak lagi mengasosiasikan keduanya. Air liurnya tidak menetes lagi jika cuma mendengar bunyi bel saja. Di situlah asosiasi antara bunyi bel dan makanan telah hilang.
Iqbal Aji Daryono, penulis artikel ini, menurut ilustrator detik.com: Edi Wahyono. |
Nah, yang terjadi dalam kasus teks kalimat tauhid di mata kelompok muslim anti-HTI pun rasanya demikian. Tanpa sadar, karena teks kalimat tauhid sangat sering muncul bersamaan dengan bendera hitam-putih dan aktivis HTI, unsur-unsur itu terasosiasi satu sama lain. Maka, terlintas di kepala saya, akan jadi menarik jika unsur-unsur tersebut dipisahkan, sebagaimana Pavlov memisahkan antara bunyi bel dan makanan.
Sabar, sabar. Yang belum pernah mendengar eksperimen Pavlov itu jangan buru-buru mengatakan, "Hoi, orang ini menempatkan muslim anti-HTI setara dengan anjing!" Tidak, tidak. Itu ngawur, dan saya juga belum berminat dilaporkan ke polisi di zaman yang isinya serba lapor-melaporkan ini. Hasil eksperimen Ivan Pavlov toh selama ini memang diterapkan pula pada manusia, misalnya untuk menyembuhkan aneka trauma dan fobia.
Maka, saya pun menampilkan kaos merah itu. Saya, yang selama ini dikenal oleh ribuan teman sebagai pendukung Jokowi, memakai kaos bertuliskan teks kalimat tauhid. Tapi, teks tersebut tidak tersaji satu paket dengan warna hitam-putih, sehingga ia pun tidak bisa seketika disebut sebagai simbol HTI.
Coba, ada berapa unsur yang dipisahkan lalu dicampur-aduk? Jika sebelumnya pemandangan tipikalnya adalah aktivis HTI atau pendukung Prabowo memakai warna hitam-putih bertuliskan teks kalimat tauhid, kali ini seorang pendukung Jokowi dengan salam satu jari memunculkan warna merah, bukan hitam atau putih, sambil secara mencolok menonjolkan teks kalimat tauhid.
Bagaimana respons kawan-kawan saya?
Ternyata sangat menyenangkan. Kawan-kawan saya, mayoritas muslim, dengan populasi campur antara pendukung dan penolak pembakaran bendera di Garut, kebanyakan bereaksi dengan bercanda. "Wooo HTI merah!"; "Kuminis syariah ini!"; "Dulu di Sarekat Islam Merah ada Semaoen, Alimin, dan Darsono. Mirip dengan Daryono!"; dan sebagainya. Komentar-komentar itu sangat melegakan, setidaknya mereka tidak menghujat saya sambil mengatakan bahwa saya mempromosikan simbol HTI, memberikan ruang untuk khilafah, atau mendukung pembubaran NKRI.
Memang sih, ada dua orang yang masih sangat setia dengan persepsi semula. Yang pertama mengatakan bahwa bagaimanapun itu font kalimat tauhid di bendera HTI. Yang kedua dengan jujur menyatakan dia alergi dengan kaligrafi di kaos saya itu. Namun, kedua suara itu sangat tidak signifikan dibandingkan dengan suara mayoritas.
Sisanya adalah teman-teman yang dengan sangat bijak mengingatkan agar saya tidak memakai kaos itu ke toilet, tidak mencucinya bersama celana dalam, dan sebagainya. Tentu seruan itu saya senyumi saja, karena mereka tidak tahu bahwa kaos itu memang cuma saya pakai buat foto satu kali, untuk selanjutnya saya jadikan barang koleksi, dan saya simpan saja di lemari. Mungkin sampai saya mati.
Apa pun itu, poin terpentingnya adalah ternyata unsur-unsur yang sebelumnya terbukti membentuk paranoia berlebihan itu bisa dipecah, dipisahkan, dan dinetralkan. Itulah resep Ivan Pavlov jika kita ingin meruntuhkan persepsi-persepsi tertentu yang tidak lucu.
Tidak, saya tidak hendak menetralkan pilihan politik. Preferensi politik tetap harus diambil, sebab sikap netral hanyalah milik sebagian akademisi yang mesti mengambil jarak objektif, juga milik kaum yang tidak siap dengan risiko sosial. Hahaha.
Metode kaos merah cap kalimat tauhid tadi hanyalah contoh kecil, jika kita ingin sedikit menurunkan tensi dalam ketegangan polarisasi politik ini. Barangkali Anda ingin juga menjalankannya, untuk berbagai sisi persepsi tipikal yang lain lagi. Biar apa? Tentu saja biar Indonesia kembali lucu, dan mengurangi suplainya pada angka penderita sakit mental, serangan jantung, dan depresi menahun.
Masalahnya, yang lucu-lucu begitu biasanya nggak ada "oli"-nya.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
Artikel ini dicopypaste dari detik.com, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Baik kepada detik.com maupun kepada Mas Iqbal, penulisnya...
0 Comments