Mengapa Jadi Wartawan?

 Iman Nur Rosyadi [via biem]

Iman Nur Rosyadi, wartawan, pernah bekerja di HU Kompas dan Sinar Harapan, kini ikut mengelola situs berita yang didirikannya: mediabanten.com. 

Pertanyaan itu sering dilontarkan ketika menjadi narasumber di sebuah sesi pelatihan jurnalistik. Pesertanya ada yang sudah menjadi wartawan di sebuah harian lokal, ada mahasiswa yang sekadar ingin tahu apa itu wartawan. Jawaban mereka sering membuat kejutan. Simak di bawah ini;

Kecelakaan

Ada peserta yang menjawab bahwa menjadi wartawan bukan merupakan cita-citanya. Menjadi wartawan merupakan “kecelakaan”. Dia mengaku sedang tidak berkeinginan untuk berkerja dimana pun seusai kuliah di perguruan tinggi di Serang. “Tadinya saya mau ke Bali, memperdalam seni,” kata peserta tersebut. Ternyata, ada keluarganya yang memasukan lamaran ke sebuah perusahaan media lokal, maka dia dapat panggilan. Ya, sejak itu dia menjadi wartawan.
Ada lagi wartawan yang medianya berbasis umat Islam. Dia mengaku, tak ada dalam benaknya untuk menjadi wartawan. Dia berangkat dari Medan dengan tujuan ke Yogyakarta untuk menjadi penyair yang terkenal. Sebelum ke Yogyakarta, dia mampir di Serang untuk menemui kerabatnya. Eh, dia kecantol dengan seorang gadis, kemudian dinikahinya. Dan, dia pun jadi melamar menjadi wartawan lokal saat itu, kemudian pindah ke harian nasional yang berbasis umat Islam yang terbit di Jakarta. Hingga sekarang dia tetap menjalankan profesi sebagai wartawan, meskipun tidak lagi berkerja di media nasional itu.
Tempat transit
Ada lagi peserta yang sudah berpredikat sebagai wartawan. Dengan bersumpah dia mengatakan, pekerjaannya sebagai wartawan hanya bersifat sementara. Dia berkeinginan menjadi pegawai pemerintahan. “Dengan profesi wartawan, kan saya bisa melobi pejabat yang punya kewenangan untuk menerima pegawai. Kalau saya tidak bisa karena tidak memenuhi syarat, paling tidak istri saya bisa menjadi PNS,” katanya dengan berapi-api. Jika istrinya yang menjadi PNS, maka dia berjanji akan berhenti menjadi wartawan.
Sebelumnya, dia sudah berusaha mencari pekerjaan yang lain seperti melamar jadi pegawai negeri sipil (PNS), melamar ke pabrik dan lain sebagainya. Tetapi usahanya tidak pernah menghasilkan. Ketika sebuah media nasional membuka lowongan pekerjaan untuk wartawan, maka dia ikut melamar. Maka jadilah ia wartawan.
Kutanyakan mengapa dia begitu keras hingga bersumpah bahwa profesi wartawan hanya bersifat sementara? Jawaban ini lah yang membuat kepala tertunduk.
Dia mengatakan, selama menjalankan profesi wartawan, dia mendapatkan kesan profesi itu bukan hal yang baik di sebagian mata masyarakat, termasuk keluarganya. Seolah profesi ini sama dengan preman atau “tukang peras” para pejabat atau orang-orang yang bermasalah. Jika dia membuat berita dan dimuat di medianya, terkadang dia disindir dengan kata-kata “wah sudah cair nih?”. Dia mengaku tidak tenang dengan hal-hal seperti itu.
Tentu saja, jawaban itu membuat kejutan. Apa yang sebenarnya terjadi pada profesi wartawan di Indonesia, terutama di Banten, sehingga menimbulkan pernyataan seperti itu. Apakah sejak awal tidak ditanamkan atau tidak dilakukan pendidikan dan latihan yang benar tentang wartawan.
Ingin Terkenal
Ada juga jawaban yang membuat hiburan, meski terkesan jawaban itu diada-adakan.Bahwa menjadi wartawan merupakan pilihan untuk lebih dikenal di kalangan perjabat, selebritis dan lingkungan lainnya. Atau paling tidak, dia punya status yang punya nilai di masyarakat. Alasan ini jug membuat miris. Sebab menjadi wartawan bukan untuk menjadi terkenal bak selebritis, tetapi dia punya tugas untuk melayani masyarakat di bidang informasi.
Dinamis
Jawaban bahwa profesi wartawan merupakan pekerjaan yang dinamis dan sangat besar tantangannya merupakan jawaban yang paling logis, meski jawaban itu hasil pemikiran agar mengatakan jawaban yang terkesan benar. Ya, setiap hari wartawan akan menghadapi orang yang berbeda, menyusun pertanyaan untuk mendapatkan berita yang berbeda dan menemukan hambatan-hambatan yang secara kualitas dan besaran juga berbeda.
Traveling atau perjalanan ke tempat-tempat yang baru dikunjungi atau suasana yang baru juga merupakan kesenangan tersendiri dari pekerjaan ini.
Berkubang Politik
Ada lagi wartawan yang sudah mulai “berkubang” dengan politik. Fenomena di Banten bukan hanya hitungan jari, tetapi sudah banyak. Ada wartawan yang menjadi pengurus partai, ada juga wartawan yang beberapa kali menjadi calon anggota legislatif. Ada juga wartawan yang sudah pernah menjadi anggota legislatif lokal.
Pada tahun 2014 yang merupakan tahun diselenggarakannya Pemilu Legislatif dan disusul dengan Pemilu Presiden, maka wartawan yang bercampur dengan politik semakin kentara. Untul level yang lebih besar, yaitu di pusat negara ini, pemilik perusahaan media ikut menceburkan diri ke dunia politik. Ada Hary Tanoe Soedibyo, pemilik MNC Group dan Sindo Group yang mencalonkan diri jadi Wakil Presiden RI melalui Partai Hanura. Ada Surya Paloh, pemilik Metro TV Group menjadi Ketua Partai Nasdem. Dan, Abruzal Bakri yang memang berlatar belakang pengusaha, juga pemilik Group Viva dan TV One maju sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar. Ada juga Dahlan Iskan dari Jawa Pos Group yang aktif di Partai Demokrat dan kini menjadi salah satu menteri di kabinet SBY.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bukankah pers diyakini sebagai pilar keempat dalam tiga pilar yang disebut para pakar politik dunia? Pilar eksekutif, pilar legislatif dan pilar yudikatif. Sedangkan pilar keempat adalah pers yang merupakan perwujudan dari demokrasi sebagai penyeimbang yang selalu berpihak kebenaran, keadilan dan rakyat. Jika pers atau orang-orang pers yang memiliki pengaruh besar terhadap institusi pers yang dibangunnya menceburkan diri pada salah satu pilar itu, terutama pilar eksekutif dan legislatif, maka diyakini akan terjadi kekacauan luar biasa.
Kekacauan akan menimbulkan ambigu-ambigu dan dapat pula diyakini terjadinya konspirasi, bukan hanya konspirasi berbentuk korupsi keuangan negara, tetapi konspirasi dalam mengatur apa pun di negeri. Institusi pers yang dibangun tidak lagi berlandaskan kepentingan kebenaran, keadilan dan rakyat, tetapi lebih pada kepentingan-kepentingan egois sekelompok pemodal yang mengusai institusi pers.
Jika dicermati fenomena politik tahun 2014, maka lebih diyakini politisi menggunakan media massa untuk mempengaruhi pembaca, meskipun hal ini tidak diakui oleh wartawan dan pengelola perusahaan tersebut. Peran wartawan dan perusahaan media sebagai pelayan informasi yang mempengaruhi cara menafsirkan sebuah peristiwa yang disajikan menjadikan sangat strategis untuk mengontrol dan mengarahkan pembaca kepada persepsi yang diharapkan.
Ada perbedaan antara keinginan untuk mempengaruhi aktivitas wartawan dan institusi pers untuk kepentingan sendiri, dan keinginan untuk melakukannya untuk orang lain. Seharusnya, mereka tidak menggunakan kewartawanan untuk tujuan egois untuk meraih kekuasaan di eksekutif maupun legislatif, tapi dapat menggunakannya untuk meningkatkan kehidupan orang lain – mengingat bahwa pembaca mungkin tidak selalu setuju pilihan-pilihan yang dikemukakan.

Haus Pengetahuan
Ini jawaban yang agak menghibur. Bahwa jadi wartawan karena ingin memenuhi rasa ingin tahu atau meraup pengetahuan lebih banyak, tanpa harus masuk ke bidang studi tertentu. Artinya, wartawan akan memiliki begitu banyak pengetahuan di berbagai bidang tanpa harus menjadi mahasiswa pada banyak bidang. Meskipun, mereka sadar banyak para ahli menyebutkan, pengetahuan para wartawan dangkal karena memiliki pengetahuan serba sedikit tentang banyak bidang pengetahuan.
Meski begitu, pengetahuan yang serba sedikit pada banyak bidang memiliki banyak kegunaan. Ini hanya dapat membantu untuk membuat lebih lengkap dibandingkan orang lain. Hal ini juga dapat memberi “kekuasaan” yang tersembunyi atas orang-orang, terutama orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tertentu. Kekuasaan itu adalah penguasaan opini atas sebagian orang terhadap sebuah peristiwa atau fakta-fakta. Namun harus selalu diingat bahwa “kekuasaan” dapat digunakan dengan cara yang positif, untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, atau dengan cara yang egois untuk memajukan diri sendiri.
Catatan Redaksi: Sebagaimana terbaca, tulisan ini sebenarnya sudah lama. Redaksi memandang perlu memuatnya kembali di sini mengingat apa yang disajikannya masih tetap aktual. Dan akan tetap aktual. Sumber artikel ini adalah web milik penulisnya: panduanjurnalistik.wordpress.com. 

Post a Comment

0 Comments