Sebuah lukisan dari era kolonial yang menggambarkan iring-iringan pengantin dengan latar belakang Gunung Salak, Bogor. [collectietropenmuseum via wikipedia] |
Senin, 5 November 2018, akun Facebook saya ditambahkan ke sebuah grup chat yang bertajuk "Komunitas PHK (Padjajaran Highway Kiwari)”. Hari itu, mulai jam 8 malam, konon akan dilangsungkan sebuah diskusi - diskusi online. Topiknya cukup menarik: Sepenggal Pasundan di Era Kolonial.
Namun, sampai empat jam kemudian, para pembicara utama yang disebut-sebut tak juga muncul. Dan tanpa kabar berita pula - bahkan sampai kini, ketika pengantar ini dibuat. Sementara, peserta lain, termasuk saya, tampaknya kikuk untuk buka suara atau urun pikiran. Walhasil, diskusi online itu pun tak terwujud.
Sebagaimana disampaikan pengantar moderator, salah satu bahan atau referensi yang sedianya akan disampaikan pembicara utama adalah salah satu karya Jan Breman: Keuntungan kolonial dari kerja paksa; Sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870(Penerbit Obor, Jakarta, 2014). Selain mengupas seluk-beluk Preanger Stelsel, yang konon sampai kini ikut menghantui bawah sadar Orang Sunda, buku ini juga secara tak langsung mengupas apa yang dianggap sebagai watak Orang Sunda. Dengan kata lain, buku ini turut menjelaskan atau menjawab pertanyaan dan pencarian kalangan “Komunitas PHK” soal jati diri Orang Sunda.
Nah, dalam konteks itulah, saya sengaja menurunkan wawancara Jos Wibisono dari Radio Nederland dengan Jan Breman, sosiolog yang studi-studinya banyak menyoal praktik kolonialisme di Asia, khususnya Indonesia dan India, ini. Sejauh saya lihat di internet, buku ini banyak sekali dibicarakan orang. Setidaknya oleh mereka yang menaruh minat pada sejarah, khususon sejarah kolonial di Indonesia. Sejumlah artikel membahasnya, termasuk para intelektuil yang menulis kolom atau ulasan di media-media mainstream. Bahkan, pembahasan soal kedai kopipun tak lupa merujuk buku ini.
Selain popularitas buku itu, wawancara lama ini, yang dilakukan kala edisi Bahasa Belanda Keuntungan kolonial dari kerja paksa terbit (2010); juga diharapkan bisa menjadi salah satu model atau contoh teknik wawancara bagi para peserta pendidikan jurnalistik yang diselenggarakan Reksa Institute. Walau, tentunya, bukan sebuah wawancara terbaik.
Selain tentunya untuk mengisi blog ini, biar kelihatan aktif.
Selain tentunya untuk mengisi blog ini, biar kelihatan aktif.
Sebagai tambahan dan kalimat akhir: Artikel wawancara ini saya salin dari blog ikhtisarstudiagraria, karena saya tak berhasil mendapatkan versi aslinya dari situs Radio Nederland. Sejumlah penyuntingan yang sifatnya teknis, menyangkut ejaan, saya lakukan. Juga judul, saya ubah menjadi lebih “nyunda”. Selebihnya, apa adanya yang tersaji di blog ikhtisarsutdiagraria tadi.
Selamat membaca!
====
Di Indonesia, Tanam Paksa, yang berlangsung dari 1830 sampai 1870, selalu dikaitkan dengan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, penggagas cara Belanda mengeruk kekayaan dari koloninya itu.
Tetapi, menurut Profesor Jan Breman, gurubesar emiritus di Universitas Amsterdam, Tanam Paksa yang Bahasa Belandanya cultuurstelsel itu sudah dimulai pada abad 18, sejak zaman VOC. Dan yang ditanampaksakan bukanlah tebu atau nila. Melainkan kopi.
Tanam paksa pendahuluan itu disebut Preanger Stelsel dan diberlakukan di Pasundan, seperti diuraikan panjang lebar pada buku terbarunya -- Koloniaal profijt van onvrije arbeid yang kira-kira berarti keuntungan kolonial dari buruh yang tertindas. Berikut penjelasan Profesor Breman tentang praktik kolonialisme di Pasunda itu:
Jan Breman [JB]: Bisa dikatakan Tanam Paksa yang oleh orang Belanda selalu disebut Cultuurstelsel adalah kelanjutan Preanger Stelsel yang hanya diterapkan di Pasundan. Sistem ini dimulai sekitar tahun 1720 dan beberapa unsur Preanger Stelsel terlihat kembali pada Cultuurstelsel yang dimulai pada tahun 1830.
Beda antara Preanger Stelsel dengan Cultuurstelsel adalah bahwa kalangan bangsawan Sunda dikerahkan untuk memimpin budidaya kopi, dari awal abad 18 itu. Sedangkan di wilayah Jawa lainnya, pada zaman Cultuurstelsel, para bangsawan, misalnya bupati, tidak diikutkan dalam memimpin produksi tanamannya. Pimpinan budidaya tanaman jatuh ke tangan pemimpin desa, kepala desa dan pimpinan desa lain yang mengendalikan para petani. Tetapi di Pasundan yang berperan adalah para menak dan sentana, yang terakhir ini adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah. Bersama, mereka terlibat dalam pengendalian budidaya kopi.
Itu perbedaan pertama, jadi bangsawan setempat dilibatkan. Perbedaan lain juga masih ada. Misalnya akibat pengerahan para bangsawan itu, para petani Sunda juga harus menyerahkan panen tanaman paksa, tetapi juga panen padi mereka dalam jumlah besar. Pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels jumlah itu meningkat sampai seperlima panen padi. Itu merupakan semacam gaji bagi para menak dan sentana Pasundan. Sedangkan di tempat lain hal semacam itu tidak terjadi.
Itu dua contoh perbedaan utama antara keduanya. Tapi perbedaannya adalah bahwa budidaya beberapa tanaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Kalau di daerah-daerah lain tanamannya adalah tebu atau indigo, maka di Pasundan budidayanya adalah kopi.
Jan Breman [via indianexpres] |
Radio Nederland [RNW]: VOC itu ke Nusantara karena tertarik rempah-rempah, merica, pala dan cengkeh. Tapi ternyata mereka tertarik juga pada kopi, mengapa kopi?
JB: Ya, itu sangat menarik. Kalau kita melihat sejarah VOC, terutama sejarah awalnya, maka terlihat bahwa Kumpeni datang ke kepulauan Nusantara karena rempah-rempah, cengkeh, pala dst. Waktu itu VOC menduduki Banda dan pulau-pulau lain di Indonesia timur. Tetapi, sebenarnya sudah sejak awal abad 18, VOC memperkenalkan tanaman-tanaman baru di Nusantara dan yang terpenting adalah kopi.
Tanaman perdu ini berasal dari India selatan dan dibawa ke Batavia, markas besar VOC untuk kemudian disebar ke tempat lain. VOC berminat pada kopi karena sangat laku di pasar dunia. Kolonialisme adalah juga salah bentuk apa yang sekarang kita sebut globalisasi, mondialisasi. Dan yang juga penting adalah percepatan datangnya sistem dunia. Itu bersamaan dengan pemasaran produk terbaru. Kopi adalah salah satu contoh terpentingnya.
Menariknya, sedikit sekali kajian yang terbit tentang Preanger Stelsel. Tidak banyak perhatian orang diarahkan padanya. Dalam buku ini saya berupaya menjelaskan bahwa ini adalah langkah penting dalam penguasaan kolonial.
RNW: Kopi itu sangat laku di pasaran dunia, tetapi butuh waktu lama untuk membudidayakannya, apalagi jika dibandingkan dengan gula atau indigo. Itukah alasannya kenapa akhirnya Preanger Stelsel dihentikan?
JB: Memang kopi itu butuh waktu lama untuk menanamnya, sama lamanya dengan teh sebagai pengganti kopi. Dalam buku ini saya tulis bahwa kopi dihapus sebagai akibat perlawanan petani Sunda. Thesis saya adalah bahwa perlawanan itulah penyebab dicabutnya Tanam Paksa, dan bukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Para petani Pasundan sangat benci tanaman kopi dan menolak membudidayakannya, paling sedikit dalam jumlah yang diwajibkan oleh penguasa.
Sesudah itu muncul budidaya teh, setelah hilangnya cultuurstelsel. Teh ditanam bukan hanya di Jawa Barat, melainkan juga di bagian Jawa yang lain. Teh maupun kopi adalah tanaman lama. Tebu misalnya sudah bisa dipanen dalam 14 bulan. Tetapi kopi, kalau dibudidaya dengan baik, dibutuhkan waktu lama. Dan itu sudah terbukti di India selatan dan Sri Lanka. Tapi di Pasundan tidak terjadi karena sangat dibenci oleh petani setempat.
RNW: Sudah dijelaskan bahwa dalam Tanam Paksa kopi ini, bangsawan Sunda, yaitu para menak dan sentana terlibat di dalamnya. Bagaimana mereka bisa tunduk pada VOC?
JB: Cerita yang sampai sekarang dianut adalah bahwa peran para menak itu merupakan kelanjutan politik pemerintahan yang sudah ada, juga di Pasundan. Ini saya juluki mitos kolonial. Dalam buku ini saya tunjukkan bahwa para menak itu dijadikan elite dan memperoleh lebih banyak peluang untuk memperbudak para petani dan memperoleh keuntungan, karena para menak ini juga memperoleh sebagian hasil tanam paksa. Dengan begitu para menak dibuat lebih berkuasa katimbang sebelumnya, ketika masih belum ada kekuasaan kolonial.
Waktu itu lebih banyak terjadi perundingan saling tawar antara elite dan para petani. Sebagai ganti perlindungan dan kesempatan kerja yang diperoleh para petani dari menak dan sentana, para elite memperoleh sebagian panen padi kaum petani. Sebelum Belanda masuk, hubungan keduanya jauh lebih seimbang, katimbang setelah VOC masuk. Waktu itu kekuasaan para bangsawan Sunda meningkat tajam, sedangkan kekuasaan rakyat justru makin berkurang.
Johannes Graaf van den Bosch, Gubernur Jendral Hidia 1830-1833, sosok yang kerap dianggap sebagai penggagas Tanam Paksa. Lukisan karya Raden Saleh [via wikipedia].jpg |
RNW: Setelah VOC bubar, Jawa lalu dikuasai oleh Inggris, pada awal abad 19. Bagaimana kekuasaan para menak? Apakah masih sama seperti pada zaman VOC, kan VOCnya sudah tidak ada?
JB: Kekuasaan para menak ini tetap sama, karena Raffles, gubernur jenderal Inggris yang didatangkan dari India untuk menguasai Jawa, tidak berani menggangu perimbangan kekuasaan. Dia takut para bangsawan Sunda itu akan melawannya. Yang berubah pada zaman kekuasaan Inggris itu adalah suasana Eropa. Waktu itu di Eropa berkecamuk perang akibat ulah Napoléon. Prancis berhadap-hadapan dengan Inggris, dan Prancis memperkenalkan sistem kontinental. Ini dilawan oleh Inggris. Akibatnya Inggris menghalangi semua kapal dari wilayah koloni di Asia dan Afrika masuk Eropa.
Kopi tidak bisa dipasarkan lagi, karena Eropa merupakan pasar utama kopi. Karena kopi tidak bisa dipasarkan maka juga tidak ada gunanya mewajibkan para petani untuk membudidaya kopi. Kopinya sendiri teronggok di gudang dan para bangsawan rugi.
Itu berarti bahwa di zaman kekuasaan Inggris, budidaya kopi sangat dikurangi, tetapi situasi politik seperti terlihat pada hubungan tuan tanah dengan para petani tidak banyak berubah. Raffles sebenarnya ingin menghapus peran bangsawan lokal ini. Selain itu dia bisa dikatakan merupakan penemu sistem pemerintahan desa. Di sini peran bangsawan lokal dihapus, dan penguasa kolonial dibuat berhubungan langsung dengan warga pedesaan. Untuk itu dibutuhkan kepala desa supaya bisa mengendalikan warga desa. Tetapi di sebagian besar Jawa sudah tidak ada lagi kalangan bangsawan.
Sebuah pemandangan di kawasan Sumedang, Jawa Barat, lukisan abad 18. [collectietropenmuseum via wikipedia] |
RNW: Soal sejarah dan penulisan sejarah. Setahu saya Anda adalah orang Belanda pertama yang menggunakan istilah tanam paksa. Bagi orang Indonesia yang mengalaminya yang penting memang paksaan itu. Sedangkan bagi orang Belanda yang penting adalah stelselnya, sistemnya. Ini jadi seperti Anda mengambil alih cara orang Indonesia menulis sejarahnya?
JB: Coba baca tulisan teman baik saya Sediono Tjondronegoro di sampul belakang buku ini. Dia menyatakan harapannya supaya edisi bahasa Indonesia buku ini juga terbit. Saya juga berpendapat demikian. Karena menurut saya, sejarah kolonial itu selalu ditulis dari sudut penguasa. Saya sendiri ingin melihat masa lampau ini dari sudut orang Indonesia. Dengan begitu saya bisa mendapatkan gambaran tentang ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh VOC dan kemudian oleh penguasa kolonial.
Seperti bisa dibaca pada notasi seorang pembuat kebijakan Belanda pada awal abad 19. Waktu itu dia sudah mengatakan, apa yang akan dilakukan oleh seorang petani Zeeland (propinsi di Belanda barat daya), kalau dia diwajibkan menghasilkan dan hanya memperoleh seperlima harga pasar bagi hasil budidayanya? Dia pasti akan marah dan menolak melakukannya atau berupaya menolak melakukan hal yang diwajibkan terhadapnya. “Saya banyak mencurahkan perhatian pada ketidakbebasan, pada pikiran-pikiran rasis yang beredar di kalangan penguasa kolonial, dan juga pada kekerasan yang digunakan untuk memaksa para petani melakukan apa yang dimaui penguasa kolonial."
Setiap kali mencari bukti bagi thesis-thesis ini, pada setiap periode, saya selalu menemui pendapat-pendapat para pembangkang. Para pembangkang ini ibarat garam pada adonan hambar. Mereka punya pendapat lain. Mereka mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diucapkan. Pembangkang ini memperlihatkan sisi buruk sebuah peristiwa. Dan pada setiap periode, juga di dalam aparat kolonial, terdengar suara membangkang yang menyatakan, "Ini sesuatu yang terkutuk. Ini ketidakadilan, ini pemerasan, ini penindasan. Perkebunan kopi itu adalah perbudakan. Dan itu tidak boleh dilakukan."
Buruh pemetik teh di Perkebunan Pasirnangka, Cianjur Selatan, abad 19. [collectietropenmuseum via internet] |
RNW: Dengan kutipan pendapat tentang petani Belanda itu, maka jelas buku ini tidak mengukur masa lampau dengan kearifan masa kini.
JB: Tidak, tapi saya juga tidak setuju kalau dikatakan bahwa masa lampau tidak boleh dimengerti dengan pengetahuan masa kini. Itu omong kosong. Mengapa tidak? Itu yang pertama. Yang kedua, harus saya tekankan saya bukan orang pertama yang bicara tentang penindasan dan paksaan, di dalam sejarah pasti ada orang yang mengatakan sistem ini terkutuk
RNW: Kalau tidak salah, salah satu orang itu adalah Otto van Rees. Dan penelitian Anda didasarkan pada penemuan-penemuannya. Tapi bagaimana kita bisa mengerti laporan Van Rees ini, konteks politiknya seperti apa?
RNW: Kalau tidak salah, salah satu orang itu adalah Otto van Rees. Dan penelitian Anda didasarkan pada penemuan-penemuannya. Tapi bagaimana kita bisa mengerti laporan Van Rees ini, konteks politiknya seperti apa?
JB: Ada dua alasan. Pada sekitar tahun 1850, makin jelas bahwa budidaya kopi yang dipaksakan itu tidak bisa memenuhi permintaan pasar dunia. Pemasokannya di pasar internasional mengalami hambatan. Rakyat makin berani menolak perintah. Jadi harus ada jalan keluar lain. Itulah reformasi produksi pertanian. Itu pertama.
Kedua, yang ditemui oleh penguasa kolonial adalah bahwa para bangsawan Sunda itu tidak lagi melayani kepentingan kolonial, melainkan kepentingan mereka sendiri. Misalnya mereka tidak berupaya sekuat tenaga bekerja sebagai pimpinan perusahaan perkebunan. Banyak yang tidak beres pada perusahaan itu. Penguasa kolonial menuduh mereka tidak berupaya sekuat tenaga untuk bekerja seperti yang dimaui oleh penguasa. Kita memang bisa menghargai pendapat Van Rees, tetapi dengan catatan kritis.
Jangan dilupakan bahwa aparat kolonial itu tidak pernah dipermasalahkan. Para bupati terus-terusan dinilai. Tetapi bagaimana dengan asisten residen, residen, dan gubernur jenderal sendiri? Apa yang dikerjakan oleh penguasa kolonial itu tidak pernah dibahas. Sisi lain aparat kolonial itu tidak pernah diteliti dengan baik. Laporan Van Rees juga tidak membahas kerja aparat kolonial ini.
Contohnya, ketika Otto van Rees sedang melakukan penelitian, asisten residen Tjiandjoer dipecat. Dia menghina kepala desa dan menyiksa para petani. Itu jelas sebuah peristiwa yang tidak kecil. Tapi tidak ada laporan mengenai hal ini. Ingat asisten residen itu adalah jabatan yang cukup tinggi. Dia bukan seorang jurutulis, tapi seorang yang penting dengan rayon sendiri. Yang menarik adalah, ketika Van Rees sibuk menulis laporannya, ternyata laporan itu sama sekali tidak menyebut insiden ini.
Asisten residen ini kemudian dikenai sanksi, dia dicopot dari jabatannya. Tapi tidak dikeluarkan dari dinas pemerintahan Hindia. Dia hanya mendapat fungsi lain, fungsi yang tidak membuatnya harus berurusan dengan masyarakat tani. Itulah caranya. Kalau sudah ada kritik dan sudah dijatuhkan sanksi, maka biasanya lembut-lembut saja. Kalau yang tidak memenuhi ketentuan itu adalah kepala desa atau petani, maka mereka dihukum dengan kekerasan.
Perburuan rusa Priangan (1876), litograf karya E Hardouin. [colletietropenmuseum via lukstafugma] |
Bagi saya itu bukannya lebih berat atau kurang berat. Kalau bangsawan setempat sampai dilibatkan dalam pemerintahan kolonial, maka bagi saya itu merupakan wujud keinginan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang murah. Karena biaya melibatkan bangsawan setempat itu tidak dipikul oleh penguasa kolonial, melainkan oleh masyarakat tani yang dikuasai. Rakyatlah yang harus menanggung biaya pemerintahan para bangsawan itu.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan pedesaan, dengan penunjukan kepala desa dan penguasa pedesaan lainnya, penguasa kolonial tidak membayar mereka sepeserpun. Itu semua harus ditanggung oleh rakyat pedesaan. Mereka harus menyediakan tanah, harus melakukan wajib kerja dalam berbagai bentuk. Dan itu tetap wajib dilakukan rakyat pedesaan walaupun kemudian Indonesia sudah merdeka. Pemerintah pedesaan tidak mendapat gaji.
Hal ini sebenarnya sudah dipertimbangkan masak-masak di zaman kolonial. Waktu itu sudah dipikirkan, apakah tidak sebaiknya menyingkirkan penguasa lokal. Tetapi kemudian dibantah karena kalau penguasa kolonial langsung menguasai pedesaan, maka itu akan butuh biaya banyak. Dan sikap Belanda ini tetap diteruskan walaupun VOC sudah bangkrut, pada intinya adalah setinggi mungkin keuntungan, serendah mungkin ongkos.
RNW: Kikir dan hemat gaya kolonial?
JB: Ya, seperti dikatakan Gubernur Jenderal Baud, kenapa harus membayar lebih banyak kalau kita bisa memperolehnya dengan biaya murah. Waktu itu, di pertengahan Abad 19, Baud harus menghadapi beberapa pembangkang yang menuntut supaya upah petani yang menghasilkan komoditi Tanam Paksa dinaikkan, supaya pendapatan mereka meningkat. Dia ditekan supaya meningkatkan upah itu. Itulah sikap khas penguasa kolonial Belanda.
Tangkuban Perahu dilihat dari Pelantungan, litografi berdasarkan lukisan Gramberg, sekitar 1865–1872. [collectietropenmuseum via wikipedia] |
RNW: Apa dampaknya bagi rakyat Pasundan?
JB: Itu sudah saya ungkapkan dalam buku ini, dan itu juga kesimpulan saya, yang terjadi adalah perbudakan, penindasan dan keadaan yang tidak mungkin dirubah lagi. Mereka dihimpit oleh penguasa setempat dan penguasa kolonial. Penguasa kolonial menutup wilayah tempat tinggal mereka. Pasundan ditutup sampai jauh di abad 19.
Warga Pasundan hanya boleh berada di dua tempat: desanya atau kebun kopi. Mereka tidak boleh ke tempat lain. Kalau ingin ke tempat lain, maka seseorang harus punya pas untuk bepergian. Pertama dia harus mengurusnya ke kepala desa, kemudian juga ke kantor residen untuk minta izin apakah boleh pergi ke tempat lain, untuk urusan keluarga atau urusan pekerjaan. Ini jelas sistem apartheid, seperti yang kemudian kita kenal di Afrika Selatan. Ketidakbebasan yang dialami warga Pasundan sangatlah tinggi.
RNW: Bagaimana ini bisa terjadi? Di wilayah lain banyak suku bangsa, orang Arab, orang Tionghoa dan seterusnya. Bagaimana mungkin orang Tionghoa tidak ada di Pasundan?
JB: Diberlakukan larangan, bukan hanya terhadap orang Tionghoa tapi juga terhadap orang Eropa lain untuk datang ke wilayah itu. Ketika Jalan Raya Pos dibangun oleh Daendels pada awal abad 19, mereka yang ingin melalui jalan itu harus punya pas yang dikeluarkan oleh penguasa kolonial. Warga Tionghoa tidak boleh masuk Pasundan. Dengan kata lain wilayah itu ditutup.
Ada beberapa alasan kenapa wilayah itu ditutup. Pertama, untuk menghindari penyelundupan, terutama penyelundupan kopi. Kopi biasanya diselundupkan keluar dan dijual dengan harga yang lebih mahal di wilayah pesisir. Alasan kedua adalah bahwa warga Pasundan adalah orang-orang yang sederhana. Mereka tidak punya banyak kebutuhan, mau menerima apa saja, dan penurut. Sikap seperti itu harus tetap dijaga, sehingga mereka tidak boleh berhubungan dengan dunia luar. Alasan ketiga adalah penguasa kolonial merasa harus berhati-hati menghadapi perlawanan atau protes. Dan dengan menutup wilayah itu semua ini berupaya dihindari.
RNW: Tapi toh terjadi juga perlawanan itu.
JB: Tentu saja. Saya mencurahkan banyak perhatian pada perlawanan ini. Karena bagi saya sangat luar biasa membaca pelbagai pendapat yang sudah terbit mengenai cultuurstelsel. Mereka merasa kaget karena menurut mereka tidak ada perlawanan. Saya menemukan banyak terjadi perlawanan. Dan terhadap perlawanan itu dilakukan tindakan kekerasan yang luar biasa. Salah seorang penulis sejarah Pasundan menyatakan di samping kopi terlihat rotan. Rotan itu sering dipakai, termasuk bentuk-bentuk hukuman lain. Jadi kalau tidak mentaati peraturan perusahaan dan penguasa maka rakyat akan dihukum.
Kedua, sebenarnya terjadi banyak sabotase, banyak penyelewengan, orang lari dan saya jelaskan bagaimana terjadinya. Itu tidak bisa diabaikan. Dan menurut saya itulah alasannya kenapa akhirnya Tanam Paksa dicabut. Rakyat tidak mau lagi, mereka tidak mau lagi menuruti instruksi atasan.
Yang jelas konsumsi kopi di dunia sangat meningkat. Dunia mulai mengenal kopi pada abad 18, kemudian mulai berkembang. Dan terlihat kebutuhan kopi makin meningkat, karena ekspornya juga meningkat. Karena itu rakyat makin diperas untuk menghasilkan kopi sebanyak mungkin. Penguasa kolonial akhirnya mendirikan NHM (Nederlandsche Handel-Maatschappij), perusahaan yang mengurus lelang produk-produk Tanam Paksa seperti kopi atau nila. Amsterdam menjadi pusat lelang kopi yang dijual ke benua lain seperti Amerika atau ke negara-negara lain di Eropa.
RNW: Tentang penulisan sejarah. Dengan buku ini Anda berupaya menulis kembali sejarah kolonialisme Belanda. Mengapa ini menjadi ambisi Anda?
JB: Bukan karena saya ingin bersikap lain dari yang selama ini sudah dilakukan oleh sesama ilmuwan. Tetapi karena ingin memberi peluang kepada pandangan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia tentang apa yang terjadi pada zaman kolonial.
Saya berupaya memperoleh kesempatan sehingga visi Indonesia ini bisa memberi gambaran lain tentang masa lampau dari yang selama ini sudah dilakukan oleh pandangan Belanda. Itulah saripati buku saya. Karena itu saya bisa mengerti seruan teman saya Sediono Tjondronegoro yang ingin supaya edisi Bahasa Indonesia buku ini juga terbit.
Saya memang orang Belanda. Tapi itu tidak berarti bahwa orang Belanda selalu harus membela pandangan kolonial. Sebaliknya tidaklah selalu benar bahwa sejarawan Indonesia selalu anti kolonialisme.
RNW: Mengapa Anda anggap penting untuk menunjukkan sisi Indonesia itu bagi publik Belanda?
JB: Itu tidak saya lakukan karena saya ingin datang dengan suara lain. Bukan begitu caranya kalau orang ingin mendalami ilmu pengetahuan. Saya ingin melakukannya karena ingin mengkoreksi pandangan sepihak yang ada di Belanda.
Dalam menekuni kolonialisme orang Belanda selalu datang dari atas ke bawah. Selain itu saya juga ingin merangsang penulisan sejarah dengan cara yang lain, misalnya dari bawah ke atas dan dari dalam keluar. Itulah dasar argumen saya dalam buku ini.
RNW: Jadi, menurut Anda penulisan sejarah Belanda tentang kolonialisme selalu dari atas ke bawah?
JB: Ya.
RNW: Dan itu bukan penulisan sejarah yang bagus?
JB: Dari atas ke bawah tidaklah selalu buruk atau salah. Cara demikian ini juga perlu. Tapi kalau hanya penulisan dari atas ke bawah, maka orang akan berpikir, ini ada yang kurang, dan itu dimensi yang juga sangat penting. Itulah dampaknya bagi masyarakat. Bagaimana para petani yang sampai beberapa generasi diperbudak dalam Tanam Paksa itu menyikapi sistem ini? Menjawab pertanyaan itu, memberi peluang bagi sisi mereka menurut saya adalah penting.
RNW: Kalau saya seorang yang ingin tahu sisi Indonesianya, maka saya akan mencarinya pada sejarah Indonesia, bukan pada sejarah Belanda.
JB: Tentu saja, dan di sini akan kita jumpai kekosongan. Karena banyak sumber yang kita gunakan untuk menafsirkan sejarah itu berasal dari aparat kolonial. Tidak banyak petani, untuk bicara terus terang, yang punya kesempatan untuk menuliskan pendapat dan pikiran mereka dengan jelas dan menyimpannya untuk generasi berikut.
Jadi kita harus memanfaatkan sumber-sumber yang sudah ada. Dan banyak sumber, termasuk yang saya gunakan, menunjukkan sudut pandang sepihak itu. Itu menyebabkan kita harus, katakanlah, membaca tidak hanya apa yang tersurat, tapi juga apa yang tersirat. Selain itu kita juga harus mencari sumber-sumber yang tampil dengan suara lain, suara membangkang yang lain dari sejarah arus utama.
RNW: Di sini Anda kemudian menemukan pendapat bahwa kalau petani Belanda di Propinsi Zeeland dipaksa menanam dan hasilnya dibeli dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar maka mereka pasti akan marah menolak. Sementara petani Pasundan dianggap selalu menurut, tapi ternyata mereka berontak juga?
JB: Iya, benar itu. Para penulis Belanda sendiri sebenarnya juga ada yang tidak berpendapat demikian. Mereka menentang gagasan bahwa warga Pasundan mau saja dikuasai. Cara petani ini berhubungan dengan para menak, bangsawan setempat, juga sangat asertif. Mereka tidak tunduk atau menyerah saja, seperti yang digambarkan dalam sejarah kolonial.
RNW: Karena itu Anda merasa perlu adanya koreksi?
JB: Ya, tapi bukan koreksi asal koreksi, atau koreksi karena hanya ingin mengeluarkan pendapat lain. Tapi untuk menunjukkan bahwa sumber-sumber itu banyak yang hanya bersifat sepihak.
RNW: Laporan-laporan yang mengeluarkan pandangan lain, seperti yang ditulis oleh Van Rees atau dalam buku Anda yang lain, seperti yang ditulis oleh Remrhev, laporan-laporan semacam itu selalu ada. Mengapa laporan semacam itu tidak ditindaklanjuti?
JB: Jangan tanya pada saya, karena saya sendiri menekuni laporan-laporan itu. Dan saya melihat ada semacam keengganan yang kemudian menghalangi tampilnya pendapat-pendapat lain. Dan adalah tugas seorang sejarawan, bukan hanya sejarawan Indonesia, untuk juga awas pada hal-hal semacam itu.
Menjinakkan Sang Kuli dan Sejarah Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja, dua buku lain karya Jan Breman. [via internet] |
0 Comments