Ilustrasi [mybestgift] |
Institut Pertanian Bogor (IPB) membuka Sekolah Kopi yang siap melahirkan barista-barista muda berbakat dan bertalenta kuat dalam mengenal cita rasa kopi nusantara. Sekolah Kopi angkatan pertama itu dibuka secara resmi kemarin oleh Rektor IPB Dr Arif Satria di Fakultas Pertanian IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
“Kami mau mencetak barista tangguh,” kata dia, Sabtu, 10 November 2018.
Menurut Arif, ide membuka sekolah kopi bagi mahasiswa muncul lantaran saat ini tren kopi sudah begitu luar biasa. Kopi, kata dia, tidak lagi identik dengan orang-orang tua tapi telah bergeser menjadi semacam gaya hidup generasi muda.
Dia mengungkapkan, saat ini anak muda yang menyukai kopi sudah semakin bertambah jumlahnya dan mereka hadir dalam setiap kegiatan ngopi. “Kopi sudah menjadi gaya hidup sehingga banyak orang yang tertarik dengan dunia kopi,” ucapnya.
Kendati demikian, kata Arif, yang namanya gaya hidup juga punya masanya. Sewaktu-waktu, tren kopi juga bakal mengalami pergeseran lagi. Sekarang, barista atau peracik kopi menjadi profesi paling bergengsi.
“Seperti tradisi minum teh yang sudah ada sejak zaman dulu, sekarang bergeser ke era milenial mengenal kopi,” tuturnya.
Dia menjelaskan, IPB memang memang memiliki perhatian pada penyesuaian kecenderungan gaya hidup yang pada saat ini banyak digandrungi anak-anak muda. Dengan melihat realitas kondisi saat ini, wajar bila perguruan tinggi yang dia pimpin berusaha menyediakan ajang untuk membangun komunikasi, karena banyak yang mau belajar kopi dewasa ini.
Selain itu, kopi juga menjadi salah satu komoditas pertanian yang punya nilai bagus. Karenanya, IPB berkerja sama dengan Rumah Kopi Ranin yang juga dikembangkan oleh alumni IPB bersama Tejo Pramono.
Angkatan pertama Sekolah Kopi IPB diikuti 10 orang mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Rektor IPB. Sebelumnya, pendaftar beasiswa sekolah kopi ini membludak mencapai 80 orang lebih. “Tapi setelah diseleksi secara ketat, kita dapatkan 10 orang mahasiswa,” kata mentor sekaligus pendiri Rumah Kopi Ranin, Tejo Pramono.
Proses seleksi dilakukan dengan memilih mahasiswa yang betul-betul memiliki bakat dalam mengenal cita rasa. Selain itu, diutamakan mahasiswa berasal dari daerah yang terdapat produksi kopi dan memiliki jurusan pendidikan dasar berkaitan dengan kopi.
“Dari 10 orang siswa angkatan pertama kebanyakan perempuan, hanya tiga laki-laki, karena perempuan punya anugerah dapat mengenal cita rasa, dan lebih peka,” tuturnya.
Sekolah Kopi IPB berlangsung selama empat hari, hanya dilaksanakan selama Sabtu dan Minggu. Para siswa dilatih oleh Uji Saptono seorang tester kopi bersertifikat internasional.
Direktur Kemahasiswaan dan Pengembangan IPB, Handian Purwawangsa menambahkan, mahasiswa IPB memiliki ilmu dasar yang membantu dalam pengembangan pendidikan kopi. “Karena IPB memiliki keilmuan dasar terkait pengembangan kopi, sehingga ini lebih memudahkan para siswa untuk menguasai keahlian kopi,” katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, biaya untuk mengikuti sekolah kopi yang ada di luar IPB mencapai Rp25 juta per orang. Namun, khusus di IPB, para mahasiswa mendapatkan beasiswa dari rektor.
“Kami mau mencetak barista tangguh,” kata dia, Sabtu, 10 November 2018.
Menurut Arif, ide membuka sekolah kopi bagi mahasiswa muncul lantaran saat ini tren kopi sudah begitu luar biasa. Kopi, kata dia, tidak lagi identik dengan orang-orang tua tapi telah bergeser menjadi semacam gaya hidup generasi muda.
Dia mengungkapkan, saat ini anak muda yang menyukai kopi sudah semakin bertambah jumlahnya dan mereka hadir dalam setiap kegiatan ngopi. “Kopi sudah menjadi gaya hidup sehingga banyak orang yang tertarik dengan dunia kopi,” ucapnya.
Kendati demikian, kata Arif, yang namanya gaya hidup juga punya masanya. Sewaktu-waktu, tren kopi juga bakal mengalami pergeseran lagi. Sekarang, barista atau peracik kopi menjadi profesi paling bergengsi.
“Seperti tradisi minum teh yang sudah ada sejak zaman dulu, sekarang bergeser ke era milenial mengenal kopi,” tuturnya.
Dia menjelaskan, IPB memang memang memiliki perhatian pada penyesuaian kecenderungan gaya hidup yang pada saat ini banyak digandrungi anak-anak muda. Dengan melihat realitas kondisi saat ini, wajar bila perguruan tinggi yang dia pimpin berusaha menyediakan ajang untuk membangun komunikasi, karena banyak yang mau belajar kopi dewasa ini.
Selain itu, kopi juga menjadi salah satu komoditas pertanian yang punya nilai bagus. Karenanya, IPB berkerja sama dengan Rumah Kopi Ranin yang juga dikembangkan oleh alumni IPB bersama Tejo Pramono.
Angkatan pertama Sekolah Kopi IPB diikuti 10 orang mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Rektor IPB. Sebelumnya, pendaftar beasiswa sekolah kopi ini membludak mencapai 80 orang lebih. “Tapi setelah diseleksi secara ketat, kita dapatkan 10 orang mahasiswa,” kata mentor sekaligus pendiri Rumah Kopi Ranin, Tejo Pramono.
Proses seleksi dilakukan dengan memilih mahasiswa yang betul-betul memiliki bakat dalam mengenal cita rasa. Selain itu, diutamakan mahasiswa berasal dari daerah yang terdapat produksi kopi dan memiliki jurusan pendidikan dasar berkaitan dengan kopi.
“Dari 10 orang siswa angkatan pertama kebanyakan perempuan, hanya tiga laki-laki, karena perempuan punya anugerah dapat mengenal cita rasa, dan lebih peka,” tuturnya.
Sekolah Kopi IPB berlangsung selama empat hari, hanya dilaksanakan selama Sabtu dan Minggu. Para siswa dilatih oleh Uji Saptono seorang tester kopi bersertifikat internasional.
Direktur Kemahasiswaan dan Pengembangan IPB, Handian Purwawangsa menambahkan, mahasiswa IPB memiliki ilmu dasar yang membantu dalam pengembangan pendidikan kopi. “Karena IPB memiliki keilmuan dasar terkait pengembangan kopi, sehingga ini lebih memudahkan para siswa untuk menguasai keahlian kopi,” katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, biaya untuk mengikuti sekolah kopi yang ada di luar IPB mencapai Rp25 juta per orang. Namun, khusus di IPB, para mahasiswa mendapatkan beasiswa dari rektor.
0 Comments